Sumber: kontan(dot)co.id
Tulungagung terkenal sebagai penghasil marmer dan produk turunannya. Tapi, sejak tiga tahun lalu, ekspor kerajinan marmer kabupaten ini semakin lesu akibat krisis keuangan global. Sekarang, pelaku usaha memilih fokus ke pasar lokal.
Sang surya bersinar cerah di kawasan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, di awal bulan April lalu. Seperti biasa, jajaran toko aneka kerajinan marmer dan batu oniks (onyx) yang berada di kawasan itu membuka lebar-lebar pintu mereka.
Tapi, hari itu, tak tampak aktivitas jual beli. Dian Nurarifin, pemilik Marmer Prima Alhajar, bilang, sudah beberapa tahun belakangan, penjualan kerajinan marmer dan batu oniks memang sepi. Penjual bak menanti hujan di musim kemarau. “Sudah sepi, dihajar pula oleh tsunami Jepang dan kondisi politik Timur Tengah,” keluhnya.
Ya, selain pasar lokal, produk-produk kerajinan marmer dan batu oniks yang lahir dari tangan perajin Campurdarat memang menyasar pasar ekspor. Contoh, Dian menjual produknya ke banyak negara, mulai dari Jerman, Uni Emirat, Korea Selatan, hingga Jepang. Produk kerajinan yang paling banyak dipesan pembeli asing adalah ubin dan perlengkapan kamar mandi, seperti wastafel dan tempat sabun.
Dulu, setiap mendapat permintaan dari Jepang, Dian yang telah merintis usaha kerajinan ini sejak 1990 bisa meraup omzet Rp 1,3 miliar. Tahun ini, selama Januari hingga Maret, total pesanan yang masuk hanya Rp 275 juta. Makanya, “Saya pesimistis omzet tahun ini mampu mengejar ketertinggalan omzet sepanjang tahun lalu,” ujar dia.
Tahun lalu, Dian hanya mengantongi penghasilan sebesar Rp 1,8 miliar. Angka ini turun Rp 600 juta atau 25% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 2,4 miliar.
Menurut Dian, penyebab utama penurunan order yang datang ke para pengusaha adalah gempa dan tsunami di Jepang. Maklum, negara itu merupakan pasar ekspor utama.
Memang, pembeli dari Negeri Matahari Terbit tidak ada yang membatalkan pesanan. Namun, mereka menunda pesanan sampai batas waktu yang tidak ditentukan. “Modal kami pun jadi berhenti berputar,” kata Dian.
Dampak bencana tsunami Jepang ini seolah menambah lengkap derita perajin marmer dan batu oniks Campurdarat. Soalnya, sejak 2009, penjualan mereka sudah merosot. Krisis keuangan global yang membuat daya beli melemah menjadi penyebabnya.
Kena bom Bali
Jauh sebelum itu, penjualan kerajinan marmer dan batu oniks sudah terpukul oleh peristiwa bom Bali yang meledak tahun 2002 dan 2005. Sejak itu, Rahmad Supriyanto, pengusaha kerajinan marmer dan batu oniks lain di Campurdarat, menuturkan, pesanan yang datang ke tokonya langsung turun drastis hingga 60%. “Buyer saya dari Italia ikut kena bom Bali, tepat sehari setelah dia datang ke Tulungagung,” katanya.
Padahal, lanjut Rahmad, hampir semua pembelinya memborong marmer Tulungagung melalui kawan-kawannya yang tinggal di Bali. “Semacam tengkulaknya, nanti mereka jual lagi ke Italia, Jerman, atau negara lain,” ujarnya.
Akibat penjualan yang terus anjlok, banyak pengusaha yang menghentikan produksi atau bahkan gulung tikar. Salah satunya PT Dwi Tunggal Marmer Indah. Eksportir kerajinan marmer dan batu onyx terbesar di Tulungagung ini terpaksa merumahkan 200 karyawan gara-gara sepi order.
Padahal, di 2005, Dwi Tunggal menyumbang 57% dari total ekspor kerajinan marmer dan batu oniks Tulungagung. Mereka menjual produknya ke Australia, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat.
Selain pesanan menyusut drastis, “Mungkin Dwi Tunggal juga memiliki permodalan yang tidak kuat karena banyak ditopang utang,” tutur Budi Siswantoro, Sekretaris Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tulungagung.
Maklum, investasi usaha marmer memang tidak sedikit. Sutoyo, pemilik Gergaji Batu, misalnya, harus merogoh kocek Rp 150 juta untuk membeli satu alat pemotong marmer. Saat ini, dia punya enam alat pemotong marmer. Itu belum termasuk peralatan lain, seperti mesin penghalus dan pemoles.
Kenaikan harga bahan baku marmer dan onyx juga memangkas keuntungan, bahkan membuat rugi pengusaha. Contohnya, di 2005, harga bahan baku naik sampai 50%. “Apalagi jika musim hujan tiba, harga marmer mentah bisa melonjak dua kali lipat,” kata Sutoyo.
Kadang, pengusaha terpaksa tetap membeli dengan harga mahal karena harus menyelesaikan kontrak pengiriman marmer kepada pembeli. Akibatnya, biaya produksi meningkat, tapi harga jual tidak berubah. Akibatnya, keuntungan pelaku usaha menciut. Bahkan, ada pengusaha yang merugi.
Tampaknya, masa emas kerajinan marmer dan batu oniks Tulungagung memang sudah berakhir. Padahal, sentra ini berjaya sejak 1980-an. Tahun 1991, pamor produk marmer dan oniks Tulungagung semakin mengkilap setelah kijing atau batu nisan dan lantai kompleks pemakaman keluarga besar Soeharto, Astana Giribangun di Karanganyar, Jawa Tengah memakai produk marmer dari Tulungagung.
Tulungagung menjadi sentra kerajinan marmer lantaran kabupaten ini memang merupakan penghasil marmer yang besar. Tambang marmer dan batu oniks terbesar ada di Campurdarat dan Desa Besole, Kecamatan Besuki.
Tapi, pengusaha juga mengambil bahan baku dari daerah lain seperti Trenggalek, Pacitan, dan Blitar. “Soalnya kadar dan jenis batu-batuan yang bisa diolah menjadi kerajinan tangan berbeda-beda,” jelas Rahmad Supriyanto.
Saat ini, Budi mencatat, pengusaha marmer dan batu oniks yang tersisa di Tulungagung tinggal 90 orang saja. Padahal, pada 2000, jumlahnya dua kali lipat lebih, sekitar 200 pelaku usaha. Selain membuat aneka kerajinan, semisal vas bunga, lampu meja, hingga guci, mereka juga membikin ubin.
Fokus pasar lokal
Pengusaha yang masih bertahan, termasuk Sutoyo, akhirnya, fokus menggarap pasar lokal. Dalam sehari, ia memproduksi minimal 100 meter persegi ubin marmer. Satu meter ia lego dengan harga Rp 150.000.
Cuma, sayang, persaingan belakangan ini semakin tidak sehat. “Ada pengusaha yang banting harga semurah mungkin, sehingga buyer bisa mempermainkan harga seenaknya,” kata Sutoyo yang sudah berbisnis marmer sejak 1991.
Menurut Dian, kondisi tersebut makin membuat industri marmer dan batu oniks di Tulungagung jatuh. Harga jual produk kerajinan marmer dan batu oniks pun turun. “Ini karena kerakusan segelintir pihak yang mementingkan keuntungannya sendiri,” tegasnya.
Masalah ini dengan mudah bisa diatasi asalkan semua pengusaha kompak dan mau menyadari pentingnya menjaga kestabilan harga serta menciptakan persaingan yang sehat. Jadi, “Jangan mau dipermainkan tengkulak, itu kuncinya,” imbuh Dian yang juga duduk di kursi Sekretaris Asosiasi Batu Alam Tulungagung.
Tapi, Budi menyarankan, pengusaha juga melakukan inovasi produk kerajinan untuk menarik pembeli kembali. Ini termasuk inovasi kemasan dan pemasaran. “Karena untuk industri kerajinan tangan, selain daya beli masyarakat lemah, pasar juga sudah jenuh dengan model kerajinan yang ada di pasar,” ungkap Budi.
Hanya saja, Dian menambahkan, pemerintah daerah juga harus membantu pengusaha, terutama pelaku usaha kecil, untuk mendapatkan akses kredit bank. Sebab, selama ini mereka kesulitan sehingga banyak mengutang ke rentenir dengan bunga mencekik. “Pengusaha juga malas berurusan dengan bank karena administrasinya ribet,” kata Dian.
Meski tiga tahun terakhir industri marmer Tulungagung kurang bergairah, Budi optimistis, ke depan, usaha ini akan mengulang masa emasnya. Tahun lalu, nilai ekspor marmer kabupaten ini mencapai Rp 265 miliar. “Tahun ini masih akan tertolong oleh penjualan marmer mozaik,” ujar dia.
Marmer Mozaik adalah marmer yang berasal dari sisa-sisa potongan marmer yang tak terpakai. Permintaan marmer mozaik termasuk tinggi. Permintaan juga datang dari luar negeri, seperti Jepang dan Italia.
Untungnya, walau ekspor melesu, penjualan di dalam negeri tetap baik. “Sekarang trennya kawasan Indonesia Timur yang lagi tinggi permintaannya,” beber Dian. Ambil contoh di Mataram, Kupang, dan Makassar. Jadi, para perajin fokus ke pasar lokal dulu sambil menunggu ekonomi dunia benar-benar pulih.
Sumber: kontan(dot)co.id