Tekstil ilegal kuasai pusat grosir

Tekstil ilegal kuasai pusat grosir
Jakarta (Espos)

Tekstil dan produk pakaian jadi (garmen) selundupan menguasai sejumlah pusat perdagangan grosir, terutama di Jakarta, di antaranya di Tanah Abang dan Mangga Dua.
“Tekstil dan garmen impor yang masuk secara ilegal terus membanjiri pasar di dalam negeri yang berlangsung sejak dua sampai tiga tahun terakhir tanpa penanganan yang jelas,” kata Ketua Asosiasi Pedagang Grosir DKI Jakarta Heris MM, di Jakarta, Minggu (8/10).

Heris mencontohkan, pusat perdagangan tekstil di Tanah Abang, Jakarta Pusat, misalnya, saat ini memperdagangkan sekitar 75%-80% tekstil impor dan 20%-30% garmen yang ditengarainya masuk secara ilegal.
Demikian pula dengan pusat perdagangan Mangga Dua (Jakarta Utara). Di pusat grosir tersebut Heris memperkirakan sekitar 40% garmen dan 60% tekstil merupakan barang selundupan. “Barang-barang tersebut masuk secara borongan, baik melalui Bandara maupun pelabuhan,” ujarnya.
Heris menambahkan, tekstil dan garmen impor tersebut biasanya masuk melalui Bandara hanya dengan membayar bea masuk (BM) Rp 70.000 per kilogram, tanpa membayar pajak lainnya, baik PPN, PPh impor dan lain-lain.
Sedangkan produk yang masuk melalui pelabuhan, kata dia, biasanya dibongkar di tengah laut kemudian dibawa dengan kapal-kapal kecil ke berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Dumai, Jambi, dan Pangkal Pinang.
“Kebanyakan tekstil dan garmen selundupan itu berasal dari China, Korea, India, dan Thailand. Akibatnya produk tekstil dan garmen yang diproduksi di dalam negeri sulit bersaing. Tekstil Pekalongan bisa bertahan karena ada batik saja,” kata Heris yang mengaku menjual produk tekstil dan garmen lokal.
Selain itu, Heris juga meminta pemerintah mengawasi ketat kawasan-kawasan berikat, seperti Kawasan Berikat Nusantara (KBN) maupun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti Bintan, karena justru dari tempat itu ditengarai bocornya tekstil dan garmen ilegal.
“Misalnya saja industri di kawasan berikat itu mengimpor tekstil sekitar 100 ribu meter untuk bahan baku garmen yang akan diekspor kembali, tapi seringkali yang dipakai 20 ribu meter, sedangkan sisanya 80 ribu meter merembes ke dalam negeri,” kata Heris.
Heris juga mendesak pemerintah serius menangani penyelundupan tekstil tersebut yang menyebabkan sejumlah industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional mati, sehingga pedagang grosir yang biasa menjual produk lokal kesulitan pasokan dan dikhawatirkan beralih menjual produk ilegal.
Tak maksimal
Sementara itu, sejumlah pedagang busana muslim di pusat perbelanjaan ITC Mangga Dua, Jakarta Utara, mengungkapkan penjualan mereka tidak maksimal karena masih lebih rendah dibanding Ramadan tahun lalu, meski mengalami sedikit kenaikan selama dua pekan terakhir.
“Kira-kira 25% lebih rendah dari tahun lalu. Tapi secara rinci, maaf, itu rahasia,” kata Rido, pedagang busana muslim pusat perdagangan itu.
Rido menyangkal turunnya penjualan itu disebabkan tingginya harga barang. Setiap pedagang, katanya, menjual busana muslim dengan harga yang relatif sama dan tidak jauh berbeda dengan tahun lalu.
Baju koko dijual dengan harga rata-rata Rp 75.000 per potong. Sedangkan rukuh dijual dengan variasi harga antara Rp 70.000 sampai Rp 300.000 per potong, tergangtung model dan kualitas barang. Sementara itu, busana muslimat berharga Rp 50.000 sampai Rp 250.000 per potong.
Pedagang lainnya, Dita, mengaku hanya bisa menjual sekitar 10 potong busana muslim selama Ramadan tahun ini. Jumlah itu, katanya, hampir separuh dari penjualan tahun lalu.
Sementara itu, pengelola toko busana muslim Ratu Muslim Asmiarti mengatakan penurunan terutama terjadi pada penjualan busana laki-laki. Dari total penjualan per hari yang dirahasiakannya, hampir 70% adalah busana wanita. – Ant

Post Author: Indonesia Grament