Info selengkapnya silahkan hubungi:oktafds@yahoo.com
Nama Penulis/Writer :
1. FX Oktaf Laudensius, NPM : 96 08 00484, Fakultas Biologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, email : oktafds@yahoo.com
2. Ir. Ign. Pramana Yuda, M.Si, Fakultas Biologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
3. Drs. P. Kianto Atmodjo, M.Si, Fakultas Biologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya insektisida organoklorin pada bulu walet sarang putih. Selain itu, bertujuan juga untuk mengetahui besar kandungan insektisida organoklorin pada bulu walet sarang putih. Burung walet yang ditangkap diambil 3 helai bulu yaitu 1 helai pada sayap kanan dan 1 helai pada sayap kiri serta 1 helai pada ekor. Bulu tersebut dijadikan sebagai sampel. Setelah itu, bulu dipersiapkan/dipreparasi melalui proses ekstraksi dengan petroleumbenzine, dievaporasi dengan rotary vacum evaporator dan dimurnikan (clean-up) dengan florisil. Kemudian sampel siap dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas-detektor penangkap elektron (GC-ECD). Hasil penelitian mengenai kandungan organoklorin pada sampel berupa bulu walet sarang putih di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bahwa 10% sampel (n=10) mengandung heptaklor dan 40% sampel (n=10) mengandung pp-DDD. Kandungan heptaklor pada bulu walet sarang putih berkisar antara 0 sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD berkisar antara 0 sampai 0,0929 ppm./This research purpose to know total number organochlorine insecticides in the feather of Swiftlet Edible Nest (Collocalia fuciphaga Thuberg). That bird take three feather, there is one feather in right wing, one feather in left wing and one feather in tail. The feathers take to sample. Preparation of sample in extraction use petroleumbenzine, evaporation with rotary vacum evaporation and than clean up use florisil. Sample is ready to analysis use Gas Chromatography Electron Capture Detector. The result showed that 10% sample (n=10) possitive to be present heptachlor and 40% sample (n=10) to be present pp-DDD. Range of heptachlor is 0 until 0,5855 ppm and pp-DDD is 0 until 0,0929 ppm.
PENDAHULUAN :
Penelitian Kuncoro et.al., (2002) menunjukkan bahwa walet sarang putih di DIY mengandung insektisida organofosfat, yaitu golongan diazinon. Jumlah diazinon pada bulu sebesar 0,159 ppm, saluran pernafasan sebesar 0,150 ppm dan saluran serta kalenjar pencernaan sebesar 0,018 ppm. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan insektisida diazinon pada bulu lebih besar dibandingkan saluran pernapasan dan kalenjar serta saluran pencernaan. Dengan demikian, maka bulu dapat dijadikan organ untuk analisis insektisida tanpa harus membunuh organisme tersebut.
Penelitian ini memilih walet sarang putih karena walet sarang putih menghasilkan liur yang dikonsumsi manusia sebagai makanan. Dengan demikian, data analisis organoklorin pada walet sarang putih dapat digunakan sebagai data kesehatan.
Analisis insektisida organoklorin perlu dilakukan karena sifat persistensinya yang sangat lama di lingkungan dan jaringan tanaman serta hewan. Selain itu, survei menunjukkan bahwa masih ada sebagian petani menggunakan campuran insektisida organoklorin padahal sebagian besar insektisida organoklorin telah dilarang penggunaannya oleh Pemerintah Indonesia.
Permasalahan yang timbul adalah : apakah bulu walet sarang putih di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengandung insektisida organoklorin? Berapa besar kandungan insektisida organoklorin tersebut?
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui ada tidaknya insektisida organoklorin pada bulu walet sarang putih dan mengetahui besar kandungan insektisida organoklorin tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan tiga tahap. Ketiga tahap tersebut adalah pengambilan sampel, preparasi/persiapan sampel dan analisis sampel. Sebelum melakukan ke tiga tahap tersebut perlu dilakukan validasi terhadap kinerja metode (Recovery Rate).
Pengambilan sampel adalah kegiatan menangkap burung walet. Burung walet yang berhasil ditangkap diambil 3 helai bulunya. Bulu tersebut dijadikan sebagai sampel. Burung walet setelah diambil bulunya dilepaskan kembali. Setelah itu, bulu dipersiapkan/dipreparasi melalui proses ekstraksi, evaporasi dan dimurnikan (clean-up). Kemudian sampel siap dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas-detektor penangkap elektron (GC-ECD).
Validasi Terhadap Kinerja Metode (Recovery Rate)
Tujuan Recovery Rate adalah untuk mengetahui kevalidan preparasi/persiapan sampel hingga keakuratan kromatografi gas untuk analisis sampel. Recovery Rate berdasarkan metode analisis multiresidu pestisida organoklorin dan organofosfat dalam berbagai matriks hasil pertanian (Anonim, 1997) yaitu metode 5-1 yang diadopsi dari Sawyer et.al., (1990) yaitu nomer 970.52. Menurut Anonim (1997), nilai perolehan kembali senyawa baku pembanding yang ditambahkan harus lebih besar atau sama dengan 80%.
Tata kerja Recovery Rate yaitu pengambilan sampel, preparasi/persiapan sampel dan analisis sampel dengan kromatografi gas-detektor penangkap elektron Setelah itu dilakukan preparasi/persiapan sampel. Sampel dibagi menjadi 2 yaitu 1 sampel negatif dan 1 sampel positif yang berasal dari 1 individu burung. Sampel negatif terdiri atas 3 helai bulu dan sampel positif terdiri atas 3 helai bulu yang berasal dari 1 individu burung walet.
Analisis sampel negatif dan sampel positif dengan kromatografi gas detektor penangkap elektron merek Shimadzu seri GC-14.B. Kromatografi gas yang dipakai untuk menginjeksi standar dan sampel negatif serta positif dengan kondisi sebagai berikut :
· Colum : OV 17-5%
· Panjang Colum : 3 meter
· Temperatur Colum : 1900C stabil
· Temperatur Detektor : 2500C
· Temperatur Injektor : 2400C
· Detektor : Electron Capture Detector
· Gas Nitrogen UHP : 99,999% kecepatan alir 30 ml/menit.
Pengambilan Sampel
Burung walet sarang putih ditangkap dengan jala penangkap burung. Burung ditangkap di sawah pada sore hari. Penangkapan dilakukan pada bulan Agustus 2002 sebagai sampel 1, 2, 3, 4 dan 5 dan bulan September 2002 sebagai sampel 6, 7, 8, 9 dan 10. Lokasi penangkapan berada di Desa Siluk dan Desa Sedayu.
Jumlah burung walet yang ditangkap sebanyak 10 ekor tanpa membedakan jenis kelamin karena sulit dibedakan (Mardiastuti et.al., 1998). Setiap Burung walet diambil bulu plumae (Contour feathers) pada sayap kanan dan kiri serta ekor masing-masing sebanyak 1 helai. Total jumlah bulu pada setiap 1 ekor burung walet adalah 3 helai. Bulu tersebut adalah sampel yang siap dianalisis.
Bulu yang digunakan untuk analisis adalah bulu plumae. Alasan digunakan Bulu plumae sebagai sampel karena bulu plumae memiliki bidang yang luas, sehingga diharapkan jumlah insektisida pada bulu berjumlah lebih banyak dibandingakan dengan bulu lain.
Menurut King et.al., (1995) dan Burnie (1992), kenampakkan bulu pada sayap terdiri atas bulu terbang primer, bulu terbang sekunder, bulu terbang tersier, bulu penutup atas dan bulu penutup utama.
Selain bulu pada sayap kiri dan kanan yang diambil sebagai sempel, bulu pada ekor diambil sebanyak 1 helai sebagai sampel untuk dianalisis. Menurut Burnie (1992), kenampakkan bulu pada ekor terdiri atas bulu atas ekor, bulu penutup ekor dan bulu ekor
Persiapan Sampel
Persiapan sampel bulu untuk dianalisis Gas Kromatografi berdasarkan metode analisis multiresidu pestisida organoklorin dan organofosfat dalam berbagai matriks hasil pertanian (Anonim, 1997) yaitu metode 5-1 yang diadopsi dari Sawyer et.al., (1990) yaitu nomer 970.52. Sampel berupa bulu walet sarang putih berjumlah 3 helai. Preparasi sampel dilakukan pada bulan Oktober 2002 di Laboratorium Balai Penyelidikan dan Pengujian Verteriner Wilayah IV Yogyakarta.
Bulu walet sarang putih yang didapatkan tidak dilakukan pencucian. Kemudian setiap sampel bulu ditimbang timbangan analitik Fisher Scientific KXT 210-G. Kemudian bulu dipotong kecil menggunakan gunting, dimasukkan ke dalam botol Teflon volume 10 ml yang memiliki tutup dan direndam dengan Petroleumbenzine GR Merck sebanyak 10 ml selama 1 malam. Bulu direndam dengan petroleumbenzine pada botol teflon yang memiliki tutup. Penutupan ini bertujuan untuk mencegah penguapan petroleumbenzine yang berlebihan.
Setelah itu, bulu digerus menggunakan cawan porselin sampai halus. Tujuan bulu digerus agar senyawa penyusun bulu larut dalam petroleumbenzine. Bulu yang telah halus dimasukkan kembali ke botol Teflon 10 ml yang berbeda. Hal ini bertujuan agar senyawa dalam bulu larut di petroleumbenzine, sedangkan petroleumbenzine sebelumnya tetap ada dan siap dianalisis. Cawan porselin dibersihkan dengan dialirkan 10 ml Petroleumbenzine dan dimasukkan pada botol Teflon 10 ml berisi bulu yang telah halus. Botol Teflon 10 ml yang berisi bulu halus dan Petroleumbenzine tersebut didiamkan selama 1 malam.
Bulu halus dan Petroleumbenzine pada botol Teflon 10 ml disaring dengan kertas saring biasa ditampung di botol evaporator 50 ml. Larutan hasil penyaringan dievaporasi hingga + 2 ml dengan Rotary Vacum Evaporator merek Wheaton Eye LA@ seri NE-1. Residu hasil evaporasi dilarutkan dengan heksana Merck dan sambil dilakukan ultrasonik menggunakan Ultrasonic merek Fisher Scientific seri B-5200E1. Tujuan ultrasonik adalah melepaskan dan melarutkan residu yang masih menempel di dinding kaca dalam botol evaporator dengan heksana Merck. Setelah itu, residu dipindahkan ke tabung reaksi 5 ml.
Setelah itu, residu dimurnikan (cleanup). Cara kerja clean-up adalah residu dialiri pada pipet yang berfungsi sebagai kolom. Pipet berisi glass wool Merck pada mulut pipet, Natrium sulfat Merck dengan panjang 1 cm, florisil Merck dengan panjang 10 cm dan Natrium sulfat Merck dengan panjang 1 cm. Florisil Merck terlebih dahulu diaktivasi selama 24 jam pada oven 1100C. Pipet tersebut dielusi dengan Petroleum Eter + 10 ml dan dibuang.
Residu dimasukkan ke dalam pipet tersebut, kemudian dielusi dengan dietil eter Merck 6% dalam petroleum eter Merck dan ditampung. Setelah itu dielusi dengan dietil eter 15% dalam petroleum eter dan ditampung, kemudian hasil tampungan dicampur sebagai hasil elusi. Diharapkan organoklorin akan terelusi 1/3 dalam dietil eter Merck 6% dan 2/3 dalam dietil eter 15%. Hasil elusi ditampung dalam botol evaporator 10 ml. Hasil elusi dievaporasi dengan Rotary Vacum Evaporator merek Wheaton Eye LA@ seri NE-1 sampai hampir kering. Botol evaporasi diultrasonik menggunakan Ultrasonic merek Fisher Scientific seri B-5200E1 sambil dibilas dan dialiri dengan heksana Merck sebanyak 2 ml yang bertujuan untuk mengambil residu dan ditampung dalam tabung reaksi 5 ml yang sama. Tabung reaksi 5 ml didiamkan semalam. Residu dikeringkan dalam oven 400C sampai hampir kering.
Kemudian residu ditambahkan aldrin 5 μl sebagai standar internal, dilarutkan dengan 0,5 ml heksana Merck. Diharapkan konsentrasi aldrin pada sampel sebesar 0,1884 ppm. Standar internal dibuat sebagai pembanding antara waktu retensi aldrin dalam larutan standar dengan waktu retensi aldrin dalam sampel sehingga diketahui pergeseran waktu retensinya. Setelah itu, residu siap diinjeksikan ke dalam Kromatografi gas. Perhitungan standar internal disajikan pada lampiran 5.
Analisis Sampel
Sebelum injeksi, terlebih dahulu dibuat standar pestisida organoklorin. Larutan standar yang digunakan adalah µBHC, heptaklor, dieldrin, pp-DDE, op-DDT, pp-DDD dan pp-DDT¢. Tujuan dibuatnya standar adalah agar dapat diketahui waktu retensi masing-masing standar, sehingga dapat ditentukan ada/tidaknya serta jumlah konsentrasi.
Analisis sampel menggunakan kromatografi gas detektor penangkap elektron merek Shimadzu seri GC-14.B. Kromatografi gas yang dipakai untuk menginjeksi standar dan sampel dengan kondisi sebagai berikut :
· Colum : OV 17-5%
· Panjang Colum : 3 meter
· Temperatur Colum : 1600C selama 2 menit, naik 20C/menit sampai 1800C, stabil 1800C selama 10 menit, suhu dinaikkan 10C/menit sampai 1950C, stabil selama 10 menit. Suhu pencucian 2400C selama 2 menit.
· Temperatur Detektor : 2500C
· Temperatur Injektor : 2400C
· Detektor : Electron Capture Detector
· Gas Nitrogen UHP : 99,999% kecepatan alir 30 ml/menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Insektisida Organoklorin Pada Bulu Walet Sarang Putih
Hasil penelitian mengenai kandungan organoklorin pada sampel berupa bulu walet sarang putih di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bahwa 10% sampel (n=10) mengandung heptaklor dan 40% sampel (n=10) mengandung pp-DDD. Kandungan heptaklor pada bulu walet sarang putih berkisar antara 0 sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD berkisar antara 0 sampai 0,0929 ppm
Penelitian menunjukkan bahwa heptaklor terdapat pada bulu walet sarang putih. Hal ini dijelaskan oleh Kamrin (1997) bahwa heptaklor dan metabolitnya yaitu epoxide heptaklor terakumulasi dalam jaringan lemak pada ikan dan burung, bahkan dapat ditemukan pula pada hati, otot dan telur burung. Selain heptaklor, pada bulu mengandung pp-DDD. Menurut Connell & Miller (1995), pp-DDD adalah hasil degradasi yang diturunkan dari dehidroklorinasi biologis dan deklorinasi reduktif DDT. Senyawa pp-DDD bersifat stabil dan aktif secara biologis. Pada Tabel 2 terlihat bahwa terjadi variasi jenis dan jumlah organoklorin pada bulu walet sarang putih. Heptaklor hanya terdapat pada 1 sampel bulu yaitu sampel 3 dan pp-DDD terdapat pada 4 sampel bulu yaitu sampel 3, 5, 6 dan 10. Hasil tersebut menunjukkan pula bahwa sampel 3 mengandung 2 jenis organoklorin yaitu heptaklor dan pp-DDD.
Variasi jenis dan jumlah organoklorin pada bulu walet sarang putih disebabkan karena dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah perbedaan daerah jelajah masing-masing walet sarang putih yang ditangkap. Menurut Mardiastuti et.al., (1998), daerah jelajah walet sarang putih berkisar antara 25 sampai 40 km. Dengan demikian, semakin jauh daerah jelajah walet sarang putih maka kemungkinan mengalami kontak dengan insektisida semakin besar.
Kemungkinan kedua adalah perbedaan usia masing-masing walet sarang putih yang ditangkap. Hal ini terlihat pada variasi ukuran tubuh walet sarang putih saat pengamatan di lapangan dan variasi berat sampel bulu walet sarang putih yang ditangkap yang tersaji pada tabel. Menurut Mardiastuti et.al., (1998), rata-rata ketahanan hidup walet sarang putih adalah 14 tahun (variasi 10 sampai 20 tahun). Sedangkan daya tahan insektisida organoklorin pada jaringan hewan berkisar antara 3 sampai 5 tahun dan kemudian akan terus mengalami transformasi di dalam jaringan hewan dalam waktu 5 tahun (Hassal, 1990 ; Connell & Miller, 1995). Dengan demikian, semakin besar usia walet sarang putih maka kemungkinan akumulasi insektisida organoklorin dalam tubuhnya semakin tinggi.
Kandungan pp-DDD pada bulu walet dimungkinkan karena masih digunakan DDT. Penggunaan DDT dilarang oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1973 (Untung, 1993), namun dijelaskan oleh Anonim (2000) dan Kusno (1994) bahwa DDT masih dianjurkan penggunaannya di sektor kesehatan hingga tahun 2000 untuk mengendalikan nyamuk malaria. Alasan larangan tersebut adalah karena sifat persistensinya yang sangat lama di tanah maupun di jaringan tanaman dan jaringan hewan. Hal tersebut dijelaskan Untung (1993) bahwa kurun waktu 17 tahun residu DDT dalam tanah masih 39%.
Selain DDT, sejak tahun 1990 penggunaan heptaklor dilarang oleh Pemerintah Indonesia (Untung 1993 ; Anonim 2001a), sedangkan oleh Pemerintah Amerika Serikat heptaklor dilarang sejak tahun 1983 (Peterle, 1991). Dengan demikian, maka dari data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa masih ada sebagian petani yang menggunakan heptaklor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran kandungan heptaklor pada bulu walet sarang putih antara 0 sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD antara 0 sampai 0,0929 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 0,5855 mg heptaklor dalam 1 kg bulu walet sarang putih dan 0,0929 mg pp-DDD dalam 1 kg bulu walet sarang putih.
Pemasukan Insektisida ke Burung Walet Sarang Putih
Jumlah pestisida yang terdaftar dan diizinkan oleh Departemen Pertanian menurut Anonim (2001a) sebesar 678 merk dagang. Menurut Anonim (2001b) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 20 jenis merek dagang insektisida tingkat kios, 19 jenis merek dagang insektisida tingkat lapangan dan 9 jenis merek dagang insektisida tingkat pengguna dari berbagai golongan (organoklorin, organofosfat, carbamat dan golongan lain). Berdasarkan data tersebut, heptaklor dan DDT sudah tidak beredar di kalangan petani. Namun, survei lapangan menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Bantul masih menggunakan organoklorin (DDT) yang dicampur dengan insektisida golongan lain sehingga memiliki daya bunuh yang cepat dan tinggi.
Insektisida yang beredar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki formulasi, cara kerja dan susunan kimia yang bervariasi. Insektisida pada tingkat petani, menggunakan 5 jenis insektisida yang memiliki formulasi berupa cairan dan digunakan dengan cara penyemprotan. Kelima jenis insektisida tersebut adalah Decis 25 EC, Fastac 15 EC, Matador 25 EC, Marshall 200 EC dan Rubigan 200 EC. Cara kerja insektisida tersebut menurut Sudarmo (1992) adalah insektisida kontak, lambung/perut dan pernafasan. Hal tersebut berarti bahwa insektisida tersebut mengenai bagian tubuh, masuk melalui mulut dan masuk melalui pernafasan organisme sasaran. Dengan demikian, kemungkinan organisme non target dapat terkena insektisida tersebut. Salah satu contoh organisme non target adalah burung walet sarang putih.
Insektisida masuk dan mengumpul di tubuh burung walet sarang putih sarang putih telah diteliti oleh Kuncoro et.al., (2002). Pemasukkan insektisida organoklorin kepada burung walet sarang putih melalui 2 cara yaitu melalui rantai makanan dan kontak langsung dengan insektisida.
Insektisida masuk ke tubuh walet sarang putih melalui rantai makanan. Hal ini dijelaskan Mardiastuti et.al., (1998) bahwa walet sarang putih menduduki tingkat trofik ketiga yaitu memangsa serangga kecil dari ordo Hymenoptera, Diptera, Homoptera dan Coleoptera yang tertangkap ketika terbang. Serangga yang menjadi makanan utama burung walet sarang putih menurut Sudarmo (1992) dan Anonim (2001a), merupakan target insektisida organofosfat, organoklorin, carbamat dan golongan lain. Dengan demikian, maka Connell (1995) menegaskan bahwa residu insektisida organoklorin yaitu DDT dan turunannya yaitu pp-DDD mengalami kenaikan dalam tingkatan trofik dan terakumulasi dalam rantai makanan.
Selain melalui rantai makanan, insektisida di udara dapat menempel pada bulu burung walet sarang putih dan bahkan terhirup oleh walet sarang putih saat melakukan pernafasan. Hal ini didukung oleh Connell (1995), bahwa kepekatan pestisida seringkali terdapat dalam atmosfer dan dalam udara di sekitar pengguna. Penelitian mengenai kontak langsung insektisida organoklorin atau golongan lain pada bulu burung masih sangat sedikit.
Insektisida di udara dapat menempel pada bulu burung walet sarang putih didukung pula oleh penelitian Chao dan Guangmei (2002), bahwa bulu burung gereja (Passer montanus) di kawasan industri mengandung mangan, magnesium, selenium dan partikel debu. Menurut Furness dan Greenwood (1993), deposit di udara yaitu cadmium dapat menempel pada bulu burung Accipiter gentilis. Penelitian tersebut, memungkinkan adanya kontak langsung insektisida organoklorin atau golongan lain di bulu.
Kesimpulan
Hasil analisis insektisida organoklorin menggunakan kromatografi gas-detektor penangkap elektron menunjukkan adanya insektisida organoklorin pada bulu walet sarang putih di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Insektisida organoklorin yang terdapat pada bulu walet sarang putih adalah heptaklor dan pp-DDD.
Hasil penelitian mengenai kandungan organoklorin pada sampel berupa bulu walet sarang putih menunjukkan bahwa 10% sampel (n=10) mengandung heptaklor dan 40% sampel (n=10) mengandung pp-DDD. Kandungan heptaklor pada bulu walet sarang putih berkisar antara 0 sampai 0,5855 ppm dan pp-DDD berkisar antara 0 sampai 0,0929 ppm.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini telah dipresentasikan pada ujian pendadaran periode II Fakultas Biologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta tanggal 22 November 2002. Ucapan terima kasih disampaikan kepada drh.Nasirudin di BBPH Regional IV Yogyakarta yang telah membantu dalam preparasi hingga analisis sampel.
Daftar Pustaka
Anonim. 1997. Metode Pengujian Residu Pertanian Dalam Hasil Pertanian. Komisi Pestisida, Departemen Pertanian. Jakarta.
Anonim. 2000. Sekitar 900 Senyawa Kimia Dapat Menimbulkan Kanker. Kompas. Selasa. 31 Oktober 2000.
Anonim. 2001a. Pestisida Untuk Pertanian dan Kehutanan. Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
Anonim. 2001b. Laporan Pengawasan Pestisida : Proyek Pengembangan Sumberdaya Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dinas Pertanian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sub Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultural. Yogyakarta.
Anonim. 2001c. Produk Pertanian Ditolak Akibat Residu Pestisida : Sumbar Bebas Pestisida. Kompas. Rabu. 22 Agustus 2001.
Anonim. 2001d. Bantul Kembangkan Varietas Padi Tahan Hama. Kompas.Jumat.24 Agustus 2001.
Ariens, E.J., E. Mutschler & A.M. Simonis. 1994. Pengantar Toksikologi Umum. Terjemahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Burnie, D. 1992. Burung. PT. Bentara Antar Asia. Jakarta.
Chao.P. & Z. Guangmei. 2002. The Tree Sparrow Passer montanus as an Indicator Species for Monitoring Urban Environments In Abstract Volume, 23rd International Ornitological Congress. Beijing. Chinna.
Connell. Des.W.1995. Bioakumulasi Senyawaan Xenobiotik. Terjemahan. UI-Press. Jakarta.
Connell.D.W & G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Terjemahan. Penerbitan Universitas Indonesia. Jakarta.
Drooge,B.L.van. 1998. Organochlorine residues and fatty acid compositions in the livers of Diurnal Raptors From The Iberian Peninsula. Final Project. Van Hall Institute, Environmental Science Leeuwareden, The Netherlands.
Kartosuwondo.U. 2001. Ulasan : Peranan Tumbuhan Bukan Budidaya dalam Pengendalian Hayati Serangga Hama. Jurnal Biosains : Hayati. Vol.8.No.2. Juni. F.MIPA. IPB. Bogor.
Khopkar. S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik.Terjemahan. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Kuncara. J.H., Y. Aida & P. Yuda. 2002. Akumulasi Organofosfat pada Walet Sarang Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg). Biota.Vol.VII(2):89.
Mardiastuti. A., Mulyani.Y.A. Sugarjito. J., Ginoga. LN. Maryanto. I., Nugraha. A. & Ismail. , 1998, Tehnik Pengusahaan Walet Rumah, Pemanenan Sarang dan Penanganan Pasca Panen. Laporan Riset. Riset Unggulan Terpadu IV Bidang Tehnologi Perlindungan Lingkungan (1995-1997). Kantor Menteri Negara Riset dan Tehnologi. Dewan Riset nasional. Bogor.
Marshall, A.J., 1960. Biology and Comparative Physiology of Birds. Volume I. Academic Press. New York and London.
Martini.F.H. & E.F. Bartholomew. 1998. Essentials of Anatomy and Physiology.Prentice-Hall International, Inc. New York.
Nur.M.N., H. Adijuwana & Kosasih. 1992. Teknik Laboratorium : Petunjuk Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Jakarta dan Bogor.
Sawyer. L.D., B.M. McMahon., W.H. Newsome & G.A. Parker. 1990. Pesticides and Industrial Chemical Residues in Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists. Twelfth Edition. Association of Official Analytical Chemists. Washington DC.
Sudjana.M.A. 1992. Metode Statistika. Edisi Ke 5. Penerbit Tarsito. Bandung.