suarapembaruan.com
Bisnis ”air liur” Burung Walet bukan sembarang bisnis. Konon pada pertengahan abad XIX ketika pertamakalinya Burung Walet dibuatkan rumah, hanya para ulama yang menyediakan rumahnya untuk tempat tinggal Burung Walet.
Sekalipun Burung Walet ini termasuk burung liar dan lebih memilih tinggal di goa-goa di pantai Selatan , tetapi para ulama di Sidayu mampu menyediakan tempat tinggal. Dari hasil penjualan sarang Burung Walet ini, mereka tidak memungut biaya kepada para santri yang belajar mengaji.
“Para ulama sudah merasa mendapatkan penghasilan yang melimpah dari air liur Burung Walet. Penghasilan ini diyakini merupakan rezeki dari Tuhan,” kata pendiri Asosiasi Peternak dan Pengusaha Sarang Wal;et Indonesia, Drs H.A.Khoiruz Zaman, MM yang juga pengurus Yayasan Kanjeng Sepuh, Sidayu, kepada Pembaruan belum lama ini.
Mitos lama menyebut-kan hanya para ulama yang mampu berbisnis Sarang Burung Walet. Tetapi belakangan, pemilik modal berhasil mematahkan mitos itu. Dengan pendekatan pengalaman, teknologi, serta rekayasa konstruksi serta dukungan modal, menggeluti bisnis yang penuh gengsi dan menjanjikan.
Ada lagi semacam mitos yang berkembang di kalangan petani dan pedagang sarang burung walet, jika seseorang ingin sukses budidaya SBW, salah satu syaratnya pernah memakannya.
Tetapi para pembudidaya di Sidayu, menurut Khoiruz Zaman lebih memilih menjual hasil panennya kepada para tengkulak atau pengepul. ”Sesekali saja kami mengkonsumsinya, tetapi lebih banyak menjualnya, karena harganya yang sangat mahal,”katanya.
Sekalipun sudah menjadi makanan mewah dan komiditas penting sejak zaman Dinasti Ming (1368-1644), namun SBW baru dipetik pertamakali pada tahun 1720 oleh seorang Lurah Desa Karang Bolong, Kebumen, Jateng, Sadrana.
Lantas sejak kapan burung walet mulai memasuki migrasi ke rumah? Menurut H Fatikh Marzuki, seorang pakar perwaletan, burung itu mulai dipelihara dan dibudidayakan di rumah sejak tahun 1880 oleh pedagang besar H Tohir Suratama yang menemukan SBW di rumahnya di Sidayu. Sejak itu pemeliharaannya tidak hanya di Sidayu Gresik, tetapi juga di kota-kota pantai utara lainnya seperti Tuban, Semarang, Tegal.
Pembangunan rumah untuk Burung Walet harus dirancang khusus. Fondasi harus kokoh agar tidak terpengaruh getaran jika terjadi gempa bumi, guna menghindari migrasi. Bagian penting yang perlu diperhatikan dalam rumah walet adalah tata letak sirip , jarak antar sirip, lebar sirip dan ketebalan sirip. Karena sirip ini menjadi tempat Burung Walet mengeluarkan air liurnya.
Rumah-rumah baru yang dibangun oleh pemilik modal belakangan ini cenderung kurang memperhatikan estetika. Rumah dengan tiga lantai sampai lima lantai berbentuk kotak menjulang keatas. Memberi kesan seperti benteng sehingga mengurangi keindahan suatu kawasan .
Khoiruz Zaman yang merupakan keturunan dari H.Tohir Suratama, bersama-sama keluarganya telah menyelesaikan pembangunan gedung berlantai lima dengan arsitektur seperti halnya rumah-rumah tingkat tempat tinggal. Gedung ini dibangun di bekas rumah tempat tinggal Burung Walet yang pertama di Sidayu.
”Kami ingin memberi contoh membangun rumah Burung Walet dengan arsitektur sebagaimana rumah tempat tinggal,” katanya.
Rumah dengan bentuk segi tiga ini membuat kapasitas sirip di lantai paling atas menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan lantai-lantai dibawahnya.
”Fasilitas didalam bangunan rumah menjadi daya tarik bagi Burung Walet untuk bertempat tinggal, mulai kualitas sirip, kelembanan ruangan, serta lubang-lubang pengatur untuk manuver didalam gedung,”kata Khoiruz Zaman. (029)