Eksperimen dan Tirakat ''Memancing'' Walet


suaramerdeka.com
HARGA iler (air liur) burung walet konon mencapai Rp 17,5 juta/kg. Banyak pemodal berspekulasi membangun gedung untuk tempat sarang burung itu berdekatan dengan sarana serupa yang sudah ada sebelumnya.

Harapannya, burung yang bernama latin aerodramus fusiphagus itu dengan serta merta pindah dari tempat lama dan membuat sarang di gedung baru. Itu harapan kosong, sebab walet punya tabiat tak akan pindah lokasi sebelum tempat lama penuh.

Padahal, kondisi sesak di suatu bangunan bisa bertahun-tahun. Pemilik rumah walet biasanya lari ke dukun untuk mempercepat pengembalian investasi ratusan juta. Ada pula yang memasang bambu petuk atau sejenis azimat lain.

Arif Budiman, warga Jl A Dahlan/Jalan Baru No 41 Weleri punya cara mempersingkat waktu kehadiran walet dengan menangkar burung sriti kembang. ”Ilmu” hasil eksperimen yang dilengkapi dengan laku tirakat itu, menurut pengakuannya, sudah diakui secara nasional sebagai temuan orisinal dia.

Majalah Trubus (spesialis agribisnis) pernah datang kepadanya dan minta presentasi atas temuannya itu. Bekas wartawan Kartika itu juga pernah diundang berceramah di Harian Malang Pos, Tabloid Peluang yang diadakan oleh berbagai organizer di Jakarta, Surabaya, Bali, Madura, Cipanas, dan Pangandaran.

Karena kesuksesan itu, bapak dua anak ini hingga kini bertahan menjadi konsultan jasa ”memancing” kedatangan walet atau ”meruwat” bangunan sarang walet yang bertahun-tahun belum menghasilkan. Dia yang sudah melanglang untuk menangani rumah walet di Tegal (2), Subah (1), Wangon (1), Cilacap (2), Bojonegoro (2), Sala (2), Purworejo (2), dan Weleri (1) itu berani memberi jaminan, dalam tempo enam bulan bangunan yang dia tangani sudah ada sarang burungnya.

”Pendek kata, kalau di Pantura dari Brebes-Rembang pernah saya tangani. Kalau di jalur selatan ya dari Wangon-Wonogiri.”

Konsep Sederhana

Sriti kembang (Hirundo Javanica) masih dari keluarga walet, dipilih karena dia berkaki kuat (mampu berdiri), sehingga bisa memakan makanan yang disediakan. Juga mampu hidup di lingkungan terkurung dengan makanan yang berbeda dari habitat aslinya.

Berbeda dari walet yang berkaki lemah, sehingga hanya bisa menggantung. ”Burung terbang” ini hanya bisa makan dengan cara menyambar makanan (tepatnya mangsa: semut terbang dan laron, serta lebah-lebah kecil) sambil terbang.

Ciri-ciri itu memungkinkan sriti kembang untuk ditangkar. Penangkarannya dengan membuat kandang di dalam atau di luar pintu masuk bangunan sarang walet.

Sepasang sriti kembang bisa menghasilkan telur dua hingga tiga butir. Walet cuma sepasang. Beberapa pasang akan ditarangkan, terserah kebutuhan tiap-tiap orang.

Setelah bertelur, telur sriti kembang diganti dengan telur walet. Jika telur itu menetas, tentu sudah menjadi anakan walet.

Jika anakan walet itu besar, otomatis dia cumbu dengan lingkungan gedung tempat dia dibesarkan. Kandang pun bisa dibongkar, dan seterusnya burung penghasil devisa itu akan membangun sendiri sarang mereka dari rerumputan di dalam gedung.

Konsep sebetulnya sederhana. Hanya yang tidak sederhana dan tak semua orang mampu melakukan, sebulan sekali selama enam bulan itu dia harus mendatangi bangunan walet yang dia tangani untuk membaca Alfatikhah 1.000 kali di mana pun tempatnya.

Sebagai konsultan, tentu dia menetapkan tarif atas jasanya. Jika peminat datang ke rumahnya untuk belajar selama sehari, biaya Rp 500.000.

Tetapi bila presentasi diikuti banyak orang, biaya Rp 500.000/orang, belum termasuk uang transpor dan akomodasi dari Weleri ke kota yang meminta jasanya. Bila dipanggil untuk konsultasi sekaligus ”meruwat” bangunan sarang burung yang belum menghasilkan, biaya bisa mencapai Rp 1,5 juta plus transpor dan akomodasi.

Baik bangunan baru maupun lama yang belum beruntung, dia jamin dalam enam bulan sudah ada sarang burungnya. ”Untuk satu sarang, saya minta Rp 500.000. Kalau tidak ada, tak usah bayar.” (Zulkifly Masruch-45j)

Post Author: admin