Oleh Alfons Loemau ] dan Yusuf Leonard Henuk ]]
SEJARAH mencatat bahwa sarang burung walet telah dikonsumsi oleh orang-orang Cina sejak tahun 700. Sedangkan, perdagangan sarang burung walet dari Asia Tenggara ke Cina telah dilakukan sejak abab ke-14, pada saat Dinasti Ming berkuasa di Negeri Cina. Maraknya perdagangan sarang burung walet tersebut berkaitan erat dengan khasiat sarang burung walet dan status sosial orang-orang yang mengonsumsinya. Sarang burung walet dipercaya mempunyai khasiat bermacam-macam, termasuk dapat menyembuhkan beberapa penyakit pernafasan, menghalus-kan kulit, menambah kebugaran tubuh dan memperpanjang usia. Walaupun semua khasiat tersebut belum dapat dibuktikan secara ilmiah, kebiasaan pemanfaatan sarang walet sebagai bahan makanan terus berlanjut hingga kini dengan jumlah konsumen dari waktu ke waktu terus meningkat.
Menurut Kong et al. (1987), sarang walet yang dapat dikonsumsi oleh manusia berasal dari sarang yang dibuat dari air liur burung walet sarang putih (collocalia fuciphaga) dan burung walet sarang hitam (collocalia maxima) yang mengandung epidermal growth factor (egf). Sampai kini, harga sarang walet putih lebih mahal daripada sarang walet hitam. Pada bulan Januari 1999, misalnya, harga sarang walet yang dihasil-kan dari goa-goa alam di Desa Suwaran, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur untuk sarang walet putih seharga Rp 10 juta/kg dan walet sarang hitam seharga Rp 1,5 juta/kg (Solihin dkk., 1999: 61). Sedangkan, harga tertinggi sarang walet putih mencapai US$ 2,500/kg (Rp 25 juta/kg).
Tulisan ini mencoba memfokuskan perhatian pada potensi tambang “emas putih” yang dihasilkan oleh sarang walet dari goa-goa alam di Kabupaten Belu yang bisa menjadi primadona perekonomian masya-rakat setempat yang dapat mendatangkan pendapatan yang sangat prospektif di masa depan dan kemungkinan timbulnya potensi konflik dalam pengelolaan sarang burung walet nanti (Pos Kupang, Selasa, 13 Juli 2004: 5).
Potensi sarang walet di Belu
Indonesia merupakan negara penghasil sarang burung walet terbesar di dunia. Negara-negara yang menjadi tujuan ekspor sarang burung walet dari Indonesia adalah Hongkong (Cina), Taiwan, Jepang, Singa-pura, Arab Saudi, Amerika Serikat, Aus-tralia, Perancis dan Belanda. Permintaan pasar internasional akan sarang burung walet dari Indonesia sebagian besar masih dipasok dari Pulau Jawa dengan daerah sentra pro-duksi sarang walet tersebar di tiga wilayah yaitu: Jawa Barat (Haurgeulis, Indramayu dan Karawang), Jawa Tengah (Pemalang, Pekalongan, Purwodadi, Kendal, Juwana, Semarang dan Wonosari) dan Jawa Timur (Gresik, Sedayu, Pasuruan dan Bangil).
Sebagian besar produksi sarang walet dari daerah-daerah tersebut di atas tidak diambil dari habitat alami di goa-goa walet, me-lainkan dari budidaya burung walet di rumah walet. Namun, keterbatasan potensi ling-kungan alami, terutama faktor edafis (luas lahan) secara prospektif mempengaruhi lingkungan sosial dan lingkungan buatan. Pengaruh dimaksud di antaranya perubahan fungsi lahan yang semakin terbatas untuk pembangunan rumah walet sehingga me-nimbulkan masalah tata ruang di kota-kota di Jawa serta mempengaruhi kesehatan ma-syarakat yang mendiami kawasan sekitar rumah walet. Selain itu, konversi lahan juga berdampak pada semakin terbatasnya keter-sediaan pakan sehingga jumlah populasi burung walet semakin menurun. Akibatnya, para eksportir sarang burung walet di masa-masa mendatang, tidak mungkin lagi meng-andalkan produsen sarang burung walet di Pulau Jawa, tetapi akan melirik potensi sarang burung walet dari habitat alami di goa-goa alam di luar Jawa.
Kabupaten Belu merupakan salah satu dari 15 kabupaten/kota yang terdapat dalam wilayah administrasi Propinsi Nusa Teng-gara Timur (NTT) yang memiliki luas wi-layah daratan 2.445,57 km2 atau 5,16 % dari total luas wilayah daratan NTT. Secara ad-ministratif kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste, bekas Propinsi Timur Timur ini terbagi atas 12 kecamatan yang terbagi dalam 155 desa dan 12 kelurahan. Goa-goa alam yang selama ini telah diidentifikasi memiliki potensi meng-hasilkan sarang walet di Kabupaten Belu antara lain tersebar di 8 (delapan) dari 12 kecamatan di sana, yakni : Kakuluk Mesak (Desa Fatuketi), Tasifeto Barat (Desa Tukuneno), Tasifeto Timur (Desa Takirin, Lasiolat dan Bauho), Raihat (Desa Tohe), Kobalima (Desa Litamali dan Rainawe), Malaka Tengah (Desa Kateri), Sasita Mean (Desa Manulea) dan Rinhat (Desa Biuduk-foho). Besarnya potensi sarang walet dari goa-goa alam di beberapa kecamatan ter-sebut di atas belum dieksploitasi secara optimal karena sebagian besar penduduk Belu yang tinggal di sekitar goa-goa walet, belum banyak mengetahui manfaat ekonomis sarang burung walet. Khusus masyarakat adat Lidak, Kelurahan Umanen, Kecamatan Kota Atambua yang memiliki 37 goa alam, para tokoh masyarakat dan pe-mangku adat mengaku dengan lugu kepada Wakil Bupati (Wabup) Belu, drg. Gregorius Mau Bili bahwa selama ini mereka membiar-kan saja kegiatan mengambil sarang walet oleh kelompok masyarakat yang berasal dari luar Kampung Lidak karena mereka tidak mengetahui manfaat ekonomis dari sarang burung walet sehingga Wabup Belu meminta masyarakat adat Lidak agar melindungi se-kaligus mengelola sarang burung walet yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan keluarga (Pos Kupang, Selasa, 13 Juli 2004: 5).
Kemungkinan konflik pengelolaan
Peluang pemanfaatan sarang burung walet dari Kabupaten Belu untuk memenuhi ke-butuhan pasar lokal dan internasional sangat besar. Peluang pemasaran tersebut tentu akan mengundang berbagai pihak yang berkepen-tingan terhadap sumberdaya ini untuk ikut bersama-sama dalam pemanfaatan sarang burung walet tersebut seperti penduduk sekitar goa-goa walet, masyarakat adat, pengusaha, pemerintah daerah dan peme-rintah pusat. Kini pemanfaatan sarang bu-rung walet merupakan sumber penghasilan baru bagi penduduk sekitar goa-goa walet untuk meningkatkan pendapatan dan per-baikan ekonomi rumah tangga. Sebagai con-toh, sarang burung walet di Desa Tukuneno dan Desa Fatuketi yang telah kami survai, telah diambil oleh penduduk sekitar goa-goa walet walaupun dijual secara terbatas dengan harga rendah. Kenyataan ini membuktikan bahwa gejala komersialisasi sarang burung walet sudah mulai terjadi di Kabupaten Belu.
Selama ini, goa-goa walet masih diyakini oleh penduduk setempat sebagai tempat yang dikeramatkan, tempat makhluk penunggu dan penjaga goa. Goa-goa walet juga meru-pakan simbol keberadaan masyarakat adat. Cara pandang masyarakat tentu akan beru-bah jika melihat adanya nilai ekonomi sarang walet. Penemuan sarang burung walet di goa-goa alam di Kabupaten Belu ibarat dite-mukan tambang “emas putih” dari goa-goa alam di sekitar pemukiman penduduk. Aki-batnya, akan tumbuh sikap untuk menguasai lokasi tempat sarang walet. Sikap untuk menguasai goa-goa walet tersebut merupa-kan indikasi tuntutan kepemilikan sumber daya secara individual. Hal ini dapat dilihat pada warga masyarakat yang pertama kali memanfaatkan sarang burung walet. Penemu goa-walet tersebut selalu mengklaim pemi-likan hak atas sarang burung walet (individual property rights).
Hak untuk menguasai sumberdaya secara perorangan ini kemungkinan akan berbenturan dengan komunitas adat yang merasa lebih berhak atas goa-goa walet. Komunitas adat melalui tokoh-tokoh adat melihat goa-goa walet merupakan bagian dari wilayah adat. Goa-goa walet menurut pandangan adat merupakan sumberdaya yang dikuasai adat (community property rights) seperti yang telah kami temukan di masyarakat adat Kobalima dan dilaporkan di masyarakat adat Lidak (Pos Kupang, Selasa, 13 Juli 2004: 5).
Pada umumnya, masyarakat adat di Belu memiliki suatu tatanan landasan budaya (culture base) yang dapat digunakan sebagai hukum adat. Landasan budaya ini bersumber dari adat Kobalima sebagai gabungan dari adat istiadat Dafala (Fehalaran), Dakolo (Maudemu), Lookeu (Lamaknen), Fohorem dan Fatumea (Timor Leste). Secara adat, terdapat 3 (tiga) tingkat hukum adat di Belu, yakni: 1) Kneter/neter (falsafah hidup), 2) Ktaek/taek (norma adat), dan 3) Ukun badu (hukum adat yang berisi pantangan dan larangan). Dalam perspektif hukum adat di Belu, prinsip dasar Kneter dan Ktaek sebagai falsafah dan norma adat yakni membangun dan membina keseimbangan dan harmonisasi hubungan timbal balik antara manusia dengan manusia (ema no ema), manusia dengan Tuhan (ema no maro-mak) dan manusia dengan alam (ema no raiklaran). Dalam hubungan dengan alam, badu merupakan sumber legitimasi budaya terhadap penguasaan alam dan pengakuan terhadap eksistensi alam sebagai media yang dikeramatkan. Paling tidak melalui badu, ada alasan secara adat bahwa alam (tanah, air, batu besar, pohon besar, gunung, dan lainnya) bagian dari adat. Alam memiliki nain (tuan atau “pe-milik”). Semua aktivitas di da-lam kawasan tanah keramat (rai lulik) didahului oleh ritual adat sebagai media “lou no sudur” (sujud dan menyembah) dan “husu no seti” (meminta dan memohon). Berkaitan dengan kepemilikan tanah, hak atas hutan atau tanah berada pada suku/kepala suku (foho bot nain rai bot anin : pemilik gunung dan pemilik tanah) dan menjadi milik komunal sehingga dapat diusahakan oleh semua anggota suku. Khusus untuk tanah kera-mat yang dilegitimasi sebagai hutan adat, menjadi milik atau dalam pengawasan uma metan (rumah suku tertinggi – nai: raja).
Sebaliknya, sejak sistem pe-merintahan adat diganti dengan sistem pemerintahan desa seperti yang telah diatur dalam UU No-mor 5 Tahun 1974 tentang Po-kok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan De-sa, hampir semua kepala desa diambil dari tokoh adat setem-pat. Status kepala desa yang ber-asal dari tokoh adat akan ber-pengaruh terhadap penggunaan adat untuk mengatur pengelola-an sarang walet. Dengan diketa-huinya manfaat nilai ekonomi sarang walet, maka kemung-kinan kepala desa dengan meng-atasnamakan adat akan menga-tur pengelolaan sarang walet. Dari sinilah akan menimbulkan potensi konflik kepentingan ekonomi antara warga masyara-kat dengan aparat pemerintah desa. Adanya penggabungan kewenangan adat dan institusi pemerintahan desa, akan me-munculkan masalah kewena-ngan pengaturan pengambilan sarang walet antara desa dan adat. Di satu sisi, ada pandangan bahwa adat sudah tidak memiliki kewenangan lagi dalam menga-tur persoalan ekonomi masyara-kat apalagi mengurusi tata peme-rintahan sejak diberlakukannya sistem pemerintahan desa. Se-mentara di sisi lain, adat melihat bahwa sumberdaya itu merupa-kan bagian dari wilayah kesatu-an adat sehingga tokoh-tokoh adat berhak mengatur pengelo-laan sarang burung walet. Pen-dapat kedua ini melihat penting-nya menghidupkan lagi kearifan lokal yang pernah ada di masya-rakat adat sejak belum diberla-kukannya sistem pemerintahan desa.
Konflik kepentingan lainnya terhadap sarang walet dapat be-rupa konflik antar desa dimana masing-masing desa mengklaim lokasi goa-goa walet yang ber-ada di wilayah-nya sebagai aki-bat telah diketahuinya nilai eko-nomisnya. Adanya klaim terha-dap penguasaan goa-goa walet pasti akan menimbulkan konflik kewenangan antara desa atau adat dalam mengatur pengam-bilan sarang walet di habitat alaminya. Selain itu, pemerintah daerah merasa berkepentingan untuk mengatur regulasi peng-ambilan sarang burung walet untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan mengatur perizinannya.
Kesimpulan, sarang burung walet telah lama digunakan sebagai bahan makanan oleh manusia. Indonesia merupakan negara penghasil sarang burung walet terbesar di dunia dengan daerah-daerah sentra produksi sarang burung walet tidak hanya terdapat di Pulau Jawa, tetapi di luar Jawa seperti Kabu-paten Belu. Namun masyarakat setempat belum mengeksploi-tasinya secara optimal karena sebagian besar penduduk Belu yang tinggal di sekitar goa walet, belum banyak mengetahui manfaat ekonomis sarang bu-rung walet. Kemungkinan timbulnya konflik pengelolaan sarang burung walet di masa depan akan terjadi bila tidak diatur dengan baik oleh semua pihak yang terkait.
* Penulis, kandidat doktor pada Program Studi Ilmu Lingkungan,
UI dan Lektor Kepala pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
** Lulusan Universitas Queensland (Australia) & Kepala PPLHSA Undana