Melepas Perangkap Keterpurukan

Oleh:Naomi Siagian

Jakarta – Sektor riil di Indonesia mungkin menghadapi tantangan paling berat. Iklim dunia usaha tidak bersahabat. Banyak kebijakan yang menimbulkan ketidakpastian dilain pihak, daya saingnya di pasar internasional semakin lemah.

Indonesia menjadi “keranjang sampah” bagi produk-produk impor. Di sisi lain, Indonesia harus kepayahan untuk memasuki pasar ekspor, sedangkan di pasar lokal justru semakin terpinggirkan. Kondisi ini semakin menguat menghantui industri nasional. Perlahan-lahan kita menyaksikan industri nasional semakin terpuruk.
Gambaran kemerosotan industri sudah lama terjadi. Ambil contoh, jumlah tenaga kerja yang di-PHK meningkat drastis. Satu demi satu industri akhirnya runtuh, antara lain sepatu, TPT dan logam.
Industri tidak mampu menanggung biaya produksi yang semakin membumbung tinggi, sementara persaingan semakin ketat menuntut biaya produksi yang kompetitif.
Sayangnya, banyak kebijakan yang kontraproduktif terhadap dunia usaha. Lihat saja salah satunya, kenaikan tarif dasar listrik melalui kebijakan dayamax oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terhadap sektor industri. Kebijakan ini mendapat protes keras dari kalangan industri tekstil terutama pemintalan dan serat sintetik. Belum lagi kenaikan harga BBM yang membuat beban industri semakin berat. Bagaimanapun harga BBM berdampak luas terhadap biaya transportasi, kenaikan harga bahan baku yang pada akhirnya menaikkan biaya produksi.
“Pelaku usaha hanya mengharapkan sebuah kondisi yang memberikan kepastian bagi dunia usaha dari pemerintah. Pelaku usaha sudah melakukan efisiensi setengah mati,” tegas Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Aziz Pane.
Melemahnya sektor riil cukup meresahkan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia M. S Hidayat. Berkali-kali pengusaha properti ini mengatakan perbaikan sektor makro harus berdampak positif terhadap sektor riil. Tetapi, apa yang terjadi, meski kondisi makro membaik sektor riil tidak kunjung pulih. Bahkan sekarang sektor makro kembali terguncang dengan melonjaknya inflasi hingga 18 persen. Ia mengemukakan, pelaku usaha banyak yang sudah merasakan dampak dari inflasi yang tinggi serta kenaikan harga BBM
”Sekarang pengusaha menghadapi dilema supaya tidak terjadi PHK besar-besaran padahal mereka ingin menumbuhkan kesempatan kerja yang tinggi,” katanya.
Itu sebabnya, Hidayat tegas meminta kepada pemerintah agar tidak hanya menstabilkan ekonomi makro, tapi sektor riil harus juga digerakkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi.
Bahkan, ia berpendapat sektor riil semakin sulit di tahun 2014 dengan lonjakan BI rate hingga 12,75 persen yang mempengaruhi suku bunga kredit lebih tinggi lagi. Demi mencapai kestabilan ekonomi makro, dinilai pemerintah mengorbankan sektor riil.

Pertumbuhan
Demikian parahkah sektor riil? Ada data yang disampaikan Departemen Perindustrian beberapa waktu lalu menyangkut sektor industri. Hingga triwulan III 2005 pertumbuhan sektor industri mencapai 6,76 persen. Pencapaian itu hampir sama dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005 sebesar 6,8 persen.
Tingginya angka-angka pertumbuhan industri manufaktur tersebut didorong pertumbuhan diatas target pada cabang industri berbasis agro seperti makanan dan minuman yang mencapai 3,7 persen diatas proyeksi 3,4 persen.
Selain itu, cabang industri alat angkut, mesin dan peralatan termasuk elektronika dan telematika sebesar 12,8 persen dan cabang industri kimia termasuk pupuk dan barang karet.
Industri berbasis agro berperan paling besar bagi pertumbuhan sektor manufaktur mencapai 27,4 persen, selanjutnya industri alat angkut, mesin dan peralatan termasuk produk elektronika dan telematika sebesar 24,9 persen dan industri kimia 16,8 persen.
Pertumbuhan tersebut berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Terjadi penambahan tenaga kerja 850.000 orang atau naik 5,3 persen. Tenaga kerja hingga triwulan III 005 mencapai 11,65 juta orang dibandingkan tahun 2004 sebesar 11,07 juta orang.
Bergairahnya sektor manufaktur juga dipicu penyerapan kredit yang semakin tinggi. Hingga September 2005, kredit tersalurkan ke sektor industri Rp168,1 triliun, meningkat 24,3 persen dibanding periode yang sama tahun 2004 sebesar Rp135,2 triliun. Untuk usaha kecil pada periode yang sama, total kredit Rp4,7 triliun atau meningkat 95,8 persen dari tahun 2004.
Ekspor juga mengalami peningkatan hingga triwulan III 2005 mencapai 15,5 persen. Peran terbesar kepada ekspor berasal dari elektronika dan telematika senilai US$8,6 miliar, selanjutnya TPT menyumbangkan ekspor US$6,3 miliar. Ekspor produk baja dan otomotif tumbuh sebesar US$1,8 miliar namun masih dibawah ekspor CPO yang mencapai US$3,3 miliar.
Melihat data-data tersebut, memang seolah-olah tidak terjadi sesuatu kepada industri. Namun, pengamat ekonomi Zulkiflimansyah menegaskan proses industrialisasi tidak bisa hanya dinilai dengan angka-angka.
“Industrialisasi yang menjadi indikator utama harus dimaknai sebagai proses diversifikasi industri kepada industri yang punya nilai tambah,” tegas Zulkiflimansyah yang juga anggota Komisi VI DPR.
Ia menekankan perlunya pendalaman struktur industri terutama dalam tingkat kandungan teknologi. Hal itu akan mendorong industri memiliki daya saing tinggi. Tanpa ada perubahan kebijakan pemerintah dalam sektor industri, tetap akan tertinggal.
Pemerintah, tandasnya, sebaiknya tidak mengandalkan angka-angka pertumbuhan. Cara-cara semacam ini merupakan kelemahan orde baru dalam menilai pertumbuhan industri. Bahkan ia berpendapat tingginya angka-angka tersebut lebih disebabkan peningkatan nilai (value) produksi bukan pada peningkatan volume produksi.
“Jangan terkesima melihat angka-angka pertumbuhan itu padahal kualitas industri rendah,” katanya.
Mencapai pertumbuhan industri harus terus kejar. Ada harapan dengan terbentuknya tim ekonomi baru di kabinet. Figur Menteri Perindustrian Fahmi Idris dinilai mampu memahami dunia usaha mengingat latar belakangnya sebagai pengusaha. “Saya yakin Menteri Perindustrian akan mampu melakukan sesuatu untuk membangun sektor industri. Dia orang yang keras dan terarah,” kata Aziz Pane.
Hanya saja dibutuhkan sebuah koordinasi antara menteri-menteri untuk membangun sektor riil tidak hanya menata di bidang ekonomi makro.
(sinarharapan.co.id)

Post Author: admin