Pasar Gede & keberadaan kain lurik

Pasar Gede & keberadaan kain lurik
Mulai luntur, banyak pedagang beralih dagangan

Kebesaran nama Pasar Gede Solo sebagai pusatnya perdagangan kain lurik belakangan mulai pudar. Perdagangan kain lurik di pasar yang terletak di kawasan Sudiroprajan tersebut, kini tidak lagi seramai pada era tahun 60 hingga tahun 90-an awal. Satu per satu transaksi kain lurik di pasar itu, sejak awal tahun 2000-an mulai susut.
Padahal menurut salah satu pedagang kain lurik, Yoso, 73, sebelum masa itu, penjualan kain lurik di pasar tersebut menjadi primadona pedagang. Bila bakul-bakul asal Pacitan, Magetan, Ponorogo datang kulak barang, transaksi bisa mencapai senilai Rp 4 juta. Jumlah tersebut pun sebagian besar dibayar tunai. Harga kain lurik tersebut, senilai Rp 4.000-Rp 12.000 per potong tergantung ukuran dan jenisnya. Kain lurik yang dijual pun tidak hanya sebatas selendang dan kain. Termasuk juga jenis selimut lurik maupun serbet makan.
Bahkan saat ini pun mulai ada jenis kain lurik halus. Kain lurik jenis ini mempunyai tekstur benang yang lebih halus, berbeda dengan kain lurik gendong yang biasanya menggunakan benang bertekstur kasar. Kain lurik halus, jelas pedagang lurik lainnya, Tuti, 27, dijual dengan kisaran harga Rp 12.000 per potong.
Semakin susut
Kini jumlah pedagang di Pasar Gede semakin berkurang. Dari pengamatan Espos, kini hanya tinggal sekitar lima pedagang. Itu pun tidak setiap hari mereka membuka kiosnya. Yoso, yang kini masih bertahan menjajakan dagangan kain lurik menyebut, sekitar dua pedagang lainnnya, hanya menggelar dagangannya hanya pada saat musim panen raya tiba. Di mana pada musim itu banyak bakul-bakul dari luar Solo yang kulakan kain lurik.
Sementara dua pedagang lainnya, meski tiap hari membuka dhasaran, namun mereka kini tidak lagi menjajakan kain lurik sebagai komoditas dagangan yang utama. Namun kini mereka beralih dengan menjajakan komoditas berbagai jenis kain dan pakaian batik. Menurut Tuti, salah seorang pedagang, alasan dirinya tidak lagi menjadikan lurik sebagai komoditas utama, lantaran dagangan tersebut mempunyai segmentasi pasar yang terbatas.
Mamik Haryono, pedagang lurik dan batik lainnya, menyebut kain lurik biasanya hanya diminati para buruh gendong, petani, kuli pasar. Sementara dagangan kain batik, kata dia, mempunyai segmen pasar yang lebih luas lagi.
”Kendati pun kini memang ada yang cari lurik, untuk aksesoris seperti kerajinan sarung bantal dan lainnya. Tapi itu jumlahnya tidak banyak dan tidak tentu,” jelas Mamik.
Alih fungsi
Di antara pedagang yang masih bertahan, cukup banyak pula pedagang kain lurik yang meninggalkan dhasaran-nya. Bahkan beberapa di antaranya, menyewakan dhasaran tersebut kepada pedagang lain. Sehingga dhasaran semula digunakan untuk dagang lurik, kini beralih fungsi, ada yang digunakan untuk dagang buah, bunga maupun masakan. Sementara bagi Yoso, yang sudah puluhan tahun berdagang lurik di Pasar Gede, tetap mantap dengan komoditas dagangan itu. ” Saya tetap bertahan dengan dagangan ini.” Bagi Yoso, kebesaran nama pasar sebagai pusat perdagangan kain lurik, sayang untuk ditinggalkan begitu saja.
Dia pun berharap, status yang melekat ini tidak akan luntur dimakan usia serta persaingan produk tekstil yang makin mengetat.(Edisi : Rabu, 11 Januari 2014 , Hal.24)

Post Author: admin