Kadin Pertanyakan Harmonisasi Tarif yang tidak Harmonis
Jakarta, (Analisa)
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mempertanyakan harmonisasi tarif bea masuk (BM) yang dikeluarkan pemerintah dan berlaku 1 Pebruari 2014 karena dinilai tidak harmonis dan belum menunjukkan dukungan terhadap industri yang ingin dikembangkan di dalam negeri.
“Belum mengarah ke sana (harmonisasi tarif BM),” kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Kelautan, Rachmat Gobel, di Jakarta, Minggu, menanggapi harmonisasi tarif BM tahap II terhadap 9.027 pos tarif.
Ia mengatakan harmonisasi tarif BM tersebut belum memperlihatkan dengan jelas arah industri sesungguhnya yang ingin dikembangkan pemerintah di dalam negeri, sehingga dikhawatirkan sejumlah industri yang sudah ada justru mati atau beralih menjadi pedagang.
Menurut Rachmat, masih banyak tarif BM dalam kebijakan harmonisasi tarif BM tahap II yang membuat sejumlah kalangan industri bingung karena justru menjadi tidak harmonis.
“Kawan-kawan asosiasi lagi mempelajarinya dan akan dibahas bersama, setelah itu kita akan undang Pak Anggito (Ketua Bapekki Anggito Abimanyu yang juga Ketua Tim Tarif) untuk diskusi hal itu (tarif BM yang dinilai belum harmonis),” ujarnya.
Ia mencontohkan sejumlah tarif yang tidak harmonis misalnya tarif BM baja yang merupakan bahan baku lemari es dan alsintan (alat pertanian) masih tinggi yaitu 7,5 persen (HRC) sampai 12,5 persen (CRC) pada 2014 dan menjadi 5,0 sampai 7,5 persen pada 2010.
Sedangkan tarif BM produk jadinya seperti alsintan juga 7,5 persen pada 2014 dan menjadi lima persen pada 2010.
Demikian pula dengan lemari es — yang banyak menggunakan baja lembaran tarif BMnya hanya 15 persen pada 2014 dan menjadi 10 persen pada 2014.
“Kalau hal itu tetap di pertahankan, jangan harap Indonesia bisa menjadi basis produksi kulkas, karena impor produk jadi akan lebih murah,” ujar Rachmat.
Ia juga mempertanyakan mengapa pemerintah tetap menerapkan BM yang tinggi untuk HRC dan CRC yang merupakan bahan baku banyak industri besar seperti elektronik dan otomotif.
“Kenapa hanya industri baja yang diproteksi. Kenapa KS (Krakatau Steel, produsen baja besar) diproteksi terus,” katanya.
Menurut dia, selain pengguna baja, sejumlah asosiasi terutama produk manufaktur, seperti asosiasi plastik (Inaplas), juga sudah mempertanyakan harmonisasi tarif BM tahap II tersebut.
Lebih jauh, Rachmat mengingatkan agar harmonisasi mempertimbangkan dan senada dengan perjanjian bilateral (FTA) maupun regional antara Indonesia dan negara lainnya. (Ant)